Senin, 27 Desember 2010

Knowledge Management: Sarana Meningkatkan Kualitas SDM Bank Syariah

Sebagaimana kita ketahui sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaan merupakan aset yang paling berharga. Optimalisasi hasil pencapaian perusahaan akan sangat didukung oleh peningkatan peran direksi dan manajer yang terlibat dalam pengelolaan SDM dan para staf yang mampu bekerja dengan sebaik-baiknya. Perubahan lingkungan bisnis yang begitu cepat menuntut pengelolaan SDM secara terpadu antara pemahaman sistem dan manusia yang ditunjang oleh keahlian, ketrampilan, kepemimpinan dan kerjasama kedua belah pihak.

Mengulas sedikit ke belakang tentang cara manusia bertahan hidup dan melakukan aktifitas ekonominya. Pada awalnya, manusia hidup di era batu di mana  hanya mengandalkan cara berfikir dan peralatan yang sederhana untuk mendukung kehidupannya sehari-hari. Peralatan utamanya adalah batu, tombak, dan panah, sementara yang diperebutkan adalah hewan buruan. Untuk sukses di era ini, manusia harus kuat dan cekatan. Perilakunya pun sangat individualis. Bila seseorang mengetahui bahwa sudah ada orang lain yang pergi ke arah utara, besar kemungkinan ia akan memilih arah lain untuk berburu. Dan siapa yang membawa hasil buruan yang lebih ‘bergengsi’, misalnya macan atau beruang, akan lebih dihormati dibandingkan dengan yang pulang hanya membawa ayam atau kelinci, tanpa memandang senioritas.

Abad berganti, zaman berubah. Era batu berganti menjadi era kehidupan berbasis pertanian. Peralatan utamanya adalah cangkul dan traktor tradisional. Sedangkan hal yang diperbutkan adalah lahan pertanian. Meskipun demikian apabila seseorang berhasil menanam kentang di daerah utara, misalnya, besar kemungkinan orang lain akan ikut menanam di sekitar daerah yang sama. Dengan demikian, budaya kerjasama mulai terbentuk. Kerjasama mengupayakan irigasi, mengusir hama, dan sebagainya. Karena orang-orang yang lahir lebih dahulu memiliki pengalaman hidup, biasanya yang lebih muda belajar dari tua, sehingga konsep senioritas menjadi di kenal di era ini.

Selang beberapa abad, dengan ditemukannya mesin-mesin, era industri mulai berkembang. Peralatan utamanya mesin dan teknologi. Karena itu, perebutan lahan berganti menjadi perebutan modal dan teknologi. Kemajuan pesat terjadi di era industri. Produktifitas melonjak tinggi. Di era ini organisasi yang sukses adalah yang berhasil menciptakan nilai tambah dengan mengelola sumber dayanya seoptimal mungkin yaitu meliputi man (manusia), money (uang), machinaries (mesin-mesin), material (bahan baku) dan methods (metodologi).

Ekonomi abad 21: Era Ekonomi Pengetahuan

Abad 21 menjadi abad teknologi. Bukan sekedar mesin yang terbaik, tetapi SDM yang mengelola mesin tersebut juga harus yang terbaik. Percuma saja memiliki mesin yang canggih namun SDM yang mengelolanya tidak dibekali pengetahuan tentang mesin tersebut. Selain itu, kebutuhan akan sumber informasi akurat, pengetahuan yang up to date dan kualitas yang bagus juga menjadi penting, terlebih pada perusahaan perbankan.

Para pemimpin perusahaan kini lebih serius dalam memperhatikan SDM dalam menentukan pola penentuan strategi dan kebijakan secara terpadu. Pengelolaan peningkatan kapasitas SDM seperti yang tersebut di atas menjadi sangat penting karena memegang peran utama dalam pelaksanaan kegiatan fungsi-fungsi lain dalam perusahaan.

Sebagai ilustrasi, sekeping DVD kosong hanya seharga Rp 5.000,- namun setelah diisi dengan suatu program perangkat lunak atau data tertentu, harganya bisa menjadi Rp 500.000,- hingga Rp 2.000.000,- atau bahkan lebih. Meningkat 50 hingga 500 kali lipat atau lebih. Pertanyaannya, hal apakah yang membuat DVD kosong tersebut menjadi mahal? Tidak lain adalah karena isi program atau dokumen yang ada di dalamnya. Begitu pula dengan SDM, ia menjadi begitu bernilai jika memiliki kualitas dan kapasitas yang baik. Lalu apa yang diperlukan untuk membuat SDM tersebut menjadi berkulitas? Jawabannya adalah knowledge.

Era knowledge economy, penguasaan dan kecepatan aliran knowledge dan informasi menjadi begitu dominan dalam menentukan keberhasilan suatu perusahaan. Peningkatan 50 kali lipat bahkan lebih dapat terjadi pada abad 21 dengan meningkatnya produktifitas karya pengetahuan dan para SDM yang berpengetahuan luas (knowlegde worker). Jika kekayaan perusahaan yang paling berharga di abad ke-20 adalah peralatan produksi, di abad 21 ini kekayaan perusahaan adalah para knowledge worker dan produktifitas mereka.

Dengan adanya globalisasi pasar dan teknologi, demokratisasi informasi, keterhubungan yang universal, tumbuhnya persaingan seara deret ukur, pergeseran dari pencepatan kekayaan melalui uang menjadi melalui orang dan adanya free agency (knowledge worker market) menjadi faktor pendukung Knowledge ekonomy. Yang diperebutkan di era ini adalah talenta individu yang memiliki pengetahuan dan informasi, dengan perilaku yang mau berbagi (sharing) dan berkolaborasi dengan orang lain.

Sedangkan metode untuk membentuk SDM knowledge worker adalah dengan memimpin SDM tersebut agar selalu meng-update pengetahuannya kemudian sharing ke rekan-rekan yang lainnya. Inilah yang disebut knowledge management (KM). Seorang pakar KM, Chun Wei Choo mengatakan, “KM adalah kerangka kerja untuk merancang tujuan organisasi, struktur dan proses sehingga organisasi dapat menggunakan apa yang ia tahu untuk belajar dan menciptakan nilai bagi pelanggan dan masyarakatnya.” KM melakukan pengelolaan pengetahuan dengan mengembangkan budaya kerja berbasis pengetahuan, leadership, inovasi, pengelolaan intellectual capital, kolaborasi, organisasi pembelajar, pengelolaan customer dan transformasi pengetahuan sebagai nilai perusahaan.

Banyak perusahaan besar dunia seperti General Electric, Toyota, Google, Microsoft, Samsung Group, dan lain sebagainya telah menerapkan KM untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas SDM-nya. Dan hasilnya, mereka menjadi ‘raja’ dan behasil di industrinya masing-masing.

Kelangkaan SDM yang berkualitas memang menjadi salah satu masalah pada industri perbankan syariah). Pengertian SDM di sini mengacu pada orang yang memiliki komitmen, kualifikasi dan kompetensi tertentu sehingga bisa berpartisipasi dan memberikan konstribusi sesuai dengan bidang atau tugasnya masing-masing dengan baik. Kalaupun ada SDM yang seperti itu maka sudah dipastikan banyak dari mereka telah terserap pada perbankan lain yang dari sisi brand image, kualitas serta remunasi lebih baik.

Farizal

Kamis, 23 Desember 2010

Mahasiswa Pasok SDM Ekonomi Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, Makassar, 19/12 (ANTARA) - Mahasiswa jurusan ekonomi Islam yang tergabung dalam Forum Silaturrahim Studi Ekonomi Islam (FoSSEI) dipersiapkan untuk mengisi posisi di lembaga-lembaga keuangan syariah.

Ketua FoSSEI Sulsel Ranto Ary Pratama mengatakan hal tersebut usai menutup pelatihan "Shariah Economic Training (SET)"bagi para mahasiswa ekonomi di Makassar, Ahad (19/12).
 
Menurutnya, saat ini FoSSEI se Indonesia telah dipercaya oleh Bank Muamalat dan Bank BRI Syariah pusat untuk memasok SDM sebagai tenaga perbankan di kedua lembaga keuangan syariah tersebut.
 
Kebutuhan SDM ekonomi syariah diperkirakan akan meningkat, kata dia, sebab menurut data dari Bank Indonesia diprediksi bahwa perkembangan ekonomi syariah pada tahun 2011 mendatang khususnya sektor perbankan syariah bisa mencapai 45 persen.
 
"Trend perkembangan ini jauh diatas bank konvensional yang hanya berkisar 18 persen," katanya. Untuk mengantisipasi kebutuhan SDM syariah tersebut, maka pelatihan sejenis SET bagi mahasiswa ekonomi sangat penting karena itu akan diupayakan berkelanjutan.

Menurutnya, SET yang berlangsung 18-19 Desember itu telah melatih 50 peserta dari lima kampus di Makassar. Diantaranya, Universitas Hasanuddin, Universitas Muslim Indonesia, Universitas Negeri Makassar, STAI Al Azhar dan STIM Nitro.

"Training ini bertujuan untuk menghasilkan sumberdaya manusia di bidang ekonomi syariah dalam rangka menyongsong dan sebagai respon perkembangan ekonomi syariah yang sangat pesat," katanya. Dia menambahkan, SET merupakan rangkaian dari Musyawarah Regional I FoSSEI Sulsel yang diagendakan pada 25-26 Desember 2010.

Kamis, 22 April 2010

Prinsip Pasar Modal Syariah

Oleh Irfan Sauqi Beik

Pasar modal merupakan salah satu tonggak penting dalam perekonomian dunia saat ini. Banyak industri dan perusahaan yang menggunakan institusi pasar modal sebagai media untuk menyerap investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya.

Secara faktual, pasar modal telah menjadi financial nerve-centre (saraf finansial dunia, Red) dunia ekonomi modern. Bahkan, perekonomian modern tidak akan mungkin eksis tanpa adanya pasar modal yang terorganisir dengan baik. Setiap hari terjadi transaksi triliunan rupiah melalui institusi ini.

Sebagaimana institusi modern, pasar modal tidak terlepas dari berbagai kelemahan dan kesalahan. Salah satunya adalah tindakan spekulasi. Pada umumnya proses-proses transaksi bisnis yang terjadi dikendalikan oleh para spekulan.

Mereka selalu memperhatikan perubahan pasar, membuat berbagai analisis dan perhitungan, serta mengambil tindakan spekulasi di dalam pembelian maupun penjualan saham. Aktivitas inilah yang membuat pasar tetap aktif. Tetapi, aktivitas ini tidak selamanya menguntungkan, terutama ketika menimbulkan depresi yang luar biasa.

Hakikat aktivitas spekulasi dapat dirinci sbb. Pertama, spekulasi sesungguhnya bukan merupakan investasi, meskipun di antara keduanya ada kemiripan. Perbedaan yang sangat mendasar di antara keduanya terletak pada 'spirit' yang menjiwainya, bukan pada bentuknya.

Para spekulan membeli sekuritas untuk mendapatkan keuntungan dengan menjualnya kembali di masa mendatang. Sedangkan para investor membeli sekuritas dengan tujuan untuk berpartisipasi secara langsung dalam bisnis.

Kedua, spekulasi telah meningkatkan unearned income bagi sekelompok orang dalam masyarakat, tanpa mereka memberikan kontribusi apapun, baik yang bersifat positif maupun produktif. Bahkan, mereka telah mengambil keuntungan di atas biaya masyarakat, yang bagaimanapun juga sangat sulit untuk bisa dibenarkan secara ekonomi, sosial, maupun moral.

Ketiga, adalah spekulasi merupakan sumber penyebab terjadinya krisis keuangan. Fakta menunjukkan bahwa aktivitas para spekulan inilah yang menimbulkan krisis di Wall Street tahun 1929 yang mengakibatkan depresi yang luar biasa bagi perekonomian dunia di tahun 1930-an.

Begitu pula dengan devaluasi poundsterling tahun 1967, maupun krisis mata uang franc di tahun 1969. Ini hanyalah sebagian contoh saja. Bahkan hingga saat ini, otoritas moneter maupun para ahli keuangan selalu disibukkan untuk mengambil langkah-langkah guna mengantisipasi tindakan dan dampak yang mungkin ditimbulkan oleh para spekulan.

Dan, keempat, spekulasi adalah outcome dari sikap mental 'ingin cepat kaya'. Jika seseorang telah terjebak pada sikap mental ini, maka ia akan berusaha dengan menghalalkan segala macam cara tanpa mempedulikan rambu-rambu agama dan etika. Karena itu, ajaran Islam secara tegas melarang tindakan spekulasi ini, karena secara diametral bertentangan dengan nilai-nilai illahiyah dan insaniyyah.

Prinsip dasar
Ada beberapa prinsip dasar untuk membangun sistem pasar modal yang sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan untuk implementasinya, memang dibutuhkan proses diskursus yang panjang.

Prinsip tersebut, antara lain, tidak diperkenankannya penjualan dan pembelian secara langsung. Saat ini, jika seseorang ataupun sebuah perusahaan ingin menjual atau membeli saham, dia akan menggunakan jasa broker atau pialang. Kemudian broker tersebut akan menghubungi jobbers dan menyampaikan maksud untuk bertransaksi, baik dalam pembelian maupun penjualan saham.

Kemudian para jobber ini menawarkan 2 rate harga, yaitu rate harga yang akan dibelinya yang biasanya lebih rendah dan rate harga yang akan dijualnya yang biasanya lebih tinggi.

Selanjutnya para jobber berkewajiban untuk membeli saham tersebut. Transaksi model ini memberikan 2 implikasi. Yang pertama, para jobber akan melakukan pembelian saham meskipun mereka belum tentu membutuhkannya.

Mereka membeli saham dengan harapan akan dapat menjualnya kembali kepada pihak yang memerlukan. Hal ini akan membuka pintu spekulasi. Para spekulan mengetahui bahwa mereka dapat membeli saham yang menguntungkan dari pasar karena para jobber ini mampu menyediakan ready stock.

Begitu pula bila saham tersebut ternyata kurang menguntungkan, mereka secara cepat dapat pula melepasnya. Implikasi selanjutnya adalah perubahan harga hanya ditentukan oleh kekuatan pasar, dimana tidak ada perubahan yang berarti dari nilai intrinsik saham.

Dalam ajaran Islam, aturan pasar modal harus dibuat sedemikian rupa untuk menjadikan tindakan spekulasi sebagai sebuah bisnis yang tidak menarik. Untuk itu, prosedur pembelian/penjualan saham secara langsung tidak diperkenankan.

Prosedurnya, setiap perusahaan yang memiliki kuota saham tertentu memberikan otoritas kepada agen di lantai bursa, untuk membuat deal atas sahamnya. Tugas agen ini adalah mempertemukan perusahaan tersebut dengan calon investor, dan bukan membeli atau menjualnya secara langsung.

Saham-saham tersebut dijual ataupun dibeli jika memang tersedia. Jika banyak pihak yang menginginkan saham tertentu, maka mereka terlebih dahulu harus terdaftar sebagai applicant, dan saham tersebut kemudian dijual/dibeli dengan prinsip first-come-first-served (siapa datang dulu dia dilayani, Red).

Determinasi harga
Saat ini, harga saham ditentukan oleh kekuatan supply dan demand. Sedangkan dalam aturan Islam, penentuan harga saham berbeda dengan penentuan harga seperti yang terjadi pada saat ini.

Jika kita melihat balance sheet dari joint stock company, maka terlihat bahwa aset sama dengan modal saham ditambah dengan kewajiban. Aset tersebut merupakan representasi dari modal, dimana kewajiban diasumsikan sama dengan nol.

Sehingga, sertifikat sahamnya memiliki nilai tertentu, dimana nilainya akan sama dengan nilai asetnya. Setiap harga saham yang di atas atau di bawah nilai asetnya, tidak menunjukkan kondisi sesungguhnya.

Tetapi kekuatan pasar mampu membuat harga saham tersebut berada di atas/di bawah nilai asetnya. Dalam pandangan Islam, untuk mencegah terjadinya distorsi ini, harga saham harus sesuai dengan nilai intrinsiknya.

Adapun formula perhitungannya adalah: harga saham sama dengan modal saham + keuntungan - kerugian + akumulasi keuntungan - akumulasi kerugian, yang kesemuanya dibagi dengan jumlah saham (Muhammad Akram, Issues in Islamic Economics).

Formula ini akan memberikan nilai sebenarnya dari sertifikat saham, dan akan lebih menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk membeli atau menjual pada berbagai level harga kecuali berdasarkan regulasi harga yang telah ditetapkan.

Pertanyaan, apakah dengan kebijakan seperti ini, para spekulan tidak akan tertarik dengan aktivitas spekulasinya? Ada dua alasan yang menjelaskan hal ini. Harga tidak akan berubah dengan cepat. Harga dideklarasikan sejak tanggal balance sheet dan berlaku hingga tanggal balance sheet berikutnya.

Selain itu, membeli ataupun menjual saham bukanlah pekerjaan mudah, dan banyak menimbulkan ketidakpastian. Para spekulan tidak akan gegabah di dalam membeli saham sebelum tanggal balance sheet. Hal ini akan mereduksi aktivitas spekulasi.

Prinsip dasar lainnya adalah penelitian account books secara cermat. Praktek standar manajemen bisnis dan akunting harus diterapkan pada semua perusahaan yang telah memiliki kuota saham tertentu. Kemudian, perlu ada proses audit dan investigasi secara mendadak untuk meneliti kebenaran dari balance sheet suatu perusahaan.

Selain itu, tiap perusahaan harus diminta untuk mengumumkan posisi keuangannya setiap tiga bulan sekali, sehingga publik akan tahu berapa sesungguhnya nilai intrinsik dari sahamnya minimal 4 kali dalam setahun.

Tentu saja tanggal penutupan suatu perusahaan akan berbeda dengan perusahaan lainnya, sehingga tanggal pengumuman posisi keuangannya pun akan berbeda-beda. Dengan demikian, hampir setiap minggu sepanjang tahun, akan ada penutupan dan pengumuman posisi keuangan, dan hal ini akan tetap membuat pasar aktif sepanjang tahun.

Prinsip dasar ini juga melarang perusahaan untuk menjual saham mereka sendiri. Perusahaan selanjutnya dilarang untuk menjual sahamnya sendiri di pasar tanpa ada izin dari pencatat/pendaftar Join Stock Company.

Selain itu, ada larangan pemberian kredit untuk tujuan spekulasi. Pemberian pinjaman dana untuk tujuan spekulasi di pasar modal sangat dilarang dalam Islam.

Forward transaction
Salah satu bagian besar dari spekulasi bisnis adalah adanya forward transaction, dimana dua pihak yang bertransaksi bersepakat untuk melakukan pengiriman pada tanggal tertentu di masa mendatang. Biasanya antara satu hingga dua belas bulan setelah tanggal transaksi. Di London Stock Exchange, forward transaction ini telah dilarang dalam skala yang lebih luas.

Selain itu, juga tidak dibolehkan adanya short selling. Ini adalah menjual saham sebelum seseorang memilikinya, dengan harapan dapat membelinya kembali dengan harga yang lebih rendah.

Contango juga tidak diperbolehkan. Ada dua alasan mengapa contango tidak akan terjadi dalam pasar modal syariah. Pertama, harga tidak akan berubah cepat karena harga ditentukan oleh nilai intrinsik dari saham. Kemudian yang kedua, dana untuk contango yang bersumber dari riba tidak akan tersedia karena Islam melarang riba atau sejenisnya.

Begitu juga transaksi option, baik single option maupun double option keduanya tidak diperbolehkan dalam Islam, sebagaimana ditegaskan Mishkat dalam Kitab al-Bai.

Adanya pengawasan terhadap keseluruhan aktivitas pasar modal. Untuk menjamin efektivitas pelaksanaan pasar modal syariah, sekaligus untuk mencegah terjadinya penyimpangan dari nilai-nilai Islam, maka diperlukan adanya lembaga yang memiliki otoritas penuh, yang beranggotakan tidak hanya ahli keuangan saja, tetapi juga pakar hukum/syariah Islam.

Rabu, 21 April 2010

Ekonomi Syariah dan Negara Islam

Oleh Mhd. Fatih al-Malawy
Mencuatnya dua hal yang menjadi perhatian publik tentang syariah Islam, yakni ekonomi syariah dan sistem tata negara Islam atau daulah khilafah (selanjutnya negara Islam), baik di media cetak maupun elektronik setidaknya telah menjadikan kaum Muslim khususnya, mempunyai spirit untuk kembali kepada penerapan syari'at Islam secara kaaffah (sempurna). Namun, penerapan ekonomi syariah Islam secara kaaffah tetap menyisakan masalah jika tidak di bawah negara Islam. Karena, penerapan sistem ekonomi syariah bukan hanya mengumpulkan dana zakat, infak, shadaqah pada skala besar. Atau ekonomi syariah Islam bukan hanya pendanaan proyek atau bisnis dalam sistem perseroan (syirkah), lebih dari itu sistem ekonomi syariah Islam juga menyangkut politik pertanian, politik industri, dan menciptakan pasar-pasar luar negeri bagi hasil produksi negara.

Sebagaimana telah diketahui bahwa Islam adalah din yang paripurna, Islam memiliki syariah yang syamil kamil (komprehensif lagi sempurna)(lihat QS an-Nahl [16]: 86 dan al-Maidah [5]: 3). Dengan demikian seluruh hukum Islam wajib diterapkan (lihat QS al-Maidah [5]: 49 dan al-Hasyr [59]: 7). Hanya saja, di antara hukum-hukum syariah itu: pertama, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu seperti aqidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlaq. Beberapa hukum mu'amalah pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara seperti perdagangan, ijarah, pernikahan, warisan, dan sebagainya.

Kedua, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada negara semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik dalam atau luar negeri; juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan atas setiap bentuk pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti ini tidak boleh dilakukan oleh individu. Sebab, selain pelaksanaannya tidak kaaffah dan menyisakan masalah, lebih dari itu wewenang untuk menjalankan hukum-hukum tersebut ada di tangan khalifah sebagai kepala negara Islam secara syar'i.

Berdasarkan hal ini keberadaan negara Islam merupakan sesuatu yang bersifat dharuri (sangat penting) untuk melaksanakan Islam secara kaaffah. Tanpa ada sebuah negara Islam, mustahil syariah bisa diberlakukan secara total. Bertolak dari pemikiran inilah kemudian al-Qurthubi menyatakan bahwa kaum Muslim wajib hukumnya mengangkat imam atau khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan umat Islam, dan menerapkan hukum-hukum syariah (lihat al-Qurthubi, al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, vol. I, hal. 182). Lebih dari itu para sahabat telah beriijma' untuk mengangkat Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah di Saqifah Bani Saidah.

Ekonomi Dalam Negara Islam
Asas yang dipergunakan dalam membangun sistem ekonomi dalam negara Islam berdiri di atas tiga kaidah: kepemilikan (al-milkiyah), pengelolaan (tasharruf), serta distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Adapun yang terkait dengan politik ekonomi Islam adalah jaminan terpenuhinya pemuasan semua kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah) tiap-tiap individu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar kemampuannya sebagai individu rakyat di negara Islam. Dengan demikian, politik ekonomi Islam tidak sekadar meningkatkan taraf hidup dalam sebuah negara semata yang didasarkan pada pertumbuhan pendapatan nasional, lebih dari itu dasar penentuan politik ekonomi Islam adalah pendistribusian kekayaan agar terpenuhinya semua kebutuhan primer bagi tiap individu rakyat, baik Muslim maupun non Muslim (ahlu dzimmah) dan menjadikan masing-masing individu mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan luksnya, bukan pada pertumbuhan kekayaan.

Kepemilikan (al-milkiyah) dalam Islam adalah izin syara' untuk memiliki harta kepada seseorang atau institusi tertentu. Jadi, harta kekayaan dapat dimiliki seseorang atau institusi apabila syariat Islam membolehkan untuk memilikinya. Dengan demikian, harta kekayaan sebenarnya adalah milik Allah Swt semata. Hanya masalahnya, Allah Swt telah menyerahkan harta kekayaan tersebut kepada manusia untuk diatur dan dibagikan. Karena itu sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memilikinya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh syara'. Maka, manusia esensinya hanya diberi istikhlaf (wewenang untuk menguasai) hak milik tersebut, bukan sebagai kepemilikan yang bersifat fi'liyah (riil).

Syara' telah menjelaskan bahwa kepemilikian (al-milkiyah) terbagi tiga: pertama, kepemilikan individu yaitu hukum syara' yang berlaku bagi zat atau kegunaan (utility) tertentu yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk dimiliki atau memanfaatkan barang tersebut. Dan ini bisa diperoleh melalui bekerja, warisan, hibah dan sebagainya. Kedua, kepemilikan umum yaitu izin As-Syari' kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda tersebut. Benda ini seperti fasilitas umum, barang tambang yang tidak terbatas, dan sumber daya alam seperti air, api dan hutan. Ketiga, kepemilikan negara yaitu harta negara yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara Islam (selanjutnya khalifah). Harta ini seperti fa'i, jizyah, kharaj, dharibah, usyur, khumus dan sebagainya.

Adapun pengelolaan (tasharruf) adalah hak pengelolaan yang sebenarnya merupakan konsekuensi dari hukum syara' dengan adanya kebolehan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan, sekaligus memperoleh kompensasi karena adanya pemanfaatan tersebut. Sehingga, hak mengelola zat benda yang dimiliki juga mencakup hak untuk mengelolanya dalam rangka mengembangkan kepemilikan benda tersebut, termasuk hak untuk mengelolanya dengan cara menafkahkan, baik karena hubungan seperti hadiah, hibah, dan wasiat maupun karena menjadi suatu nafkah seperti ayah terhadap anaknya.

Distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat adalah politik ekonomi negara Islam agar keseimbangan ekonomi rakyat bisa merata dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Islam telah mewajibkan sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat, dan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang saja. Allah Swt berfirman: "supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu." (TQS. al-Hasyr [59]: 7). Karena itu, khalifah harus menciptakan keseimbangan ekonomi tersebut dengan menyuplai rakyat yang fakir dengan harta yang diambil dari baitul mal (kas Negara). Sehingga, dengan suplai tersebut bisa diwujudkan keseimbangan ekonomi.

Bahwa fenomena bobroknya sirkulasi kekayaan di antara individu dengan jelas dan gamblang di berbagai negara merupakan sebuah fakta yang terjadi. Yang kesemuanya tadi ditunjukkan oleh kenyataan hidup sehari-hari, yang tidak perlu lagi banyak argumentasi. Begitu pula kesenjangan yang lebar, yang dialami oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tidak perlu lagi dijelaskan kerawanan dan absurditasnya.

Orang-orang Kapitalis telah berusaha memecahkan problem tersebut, tetapi tidak berhasil. Para ahli ekonomi Kapitalis ketika membahas teori tentang distribusi pendapatan, begitu mengabaikan buruknya distribusi pendapatan personal, bahkan mereka hanya memaparkan perhitungan-perhitungan tanpa memberikan solusi yang mendalam. Begitu pula dengan orang-orang Sosialis. Mereka tidak menemukan cara untuk memecahkan masalah buruknya distribusi itu, selain hanya membatasi hak milik dengan cara memberangus hak milik itu. Sehingga, orang-orang Sosialis akhirnya memberikan solusi dengan melarang hak milik itu.

Sementara Islam, justru telah menjamin distribusi tersebut dengan baik, yaitu dengan menentukan tata cara pemilikan, tata cara mengelola kepemilikan, serta menyuplai orang yang tidak sanggup mencukupi kebutuhan-kebutuhannya dengan harta yang bisa menjamin hidupnya sebanding dengan sesamanya dalam komunitas masyarakat. Hal ini dalam rangka mewujudkan keseimbangan dalam memenuhi kebutuahn-kebutuhannya di antara sesamanya. Dengan demikian, Islam telah memecahkan masalah buruknya distribusi kekayaan tersebut.

Oleh karena itu, hanya negara Islamlah yang mampu mewujudkan sistem ekonomi syariah secara kaaffah. Karena itu, merupakan kesalahan yang fatal apabila sistem ekonomi syariah Islam dipisahkan dari negara Islam. Sebab, hal semacam itu tentu akan menyebabkan kesalahan dalam memahami masalah-masalah ekonomi yang ingin dipecahkan, bahkan akan menyebabkan buruknya pemahaman terhadap faktor-faktor produksi yang menghasilkan kekayaan dalam suatu negara. Ekonomi Islam hanya akan mungkin berhasil jika diterapkan dalam negara Islam yang menerapkan Islam secara kaaffah. Sebab, sistem kehidupan Islam itu bersifat integral dan saling melengkapi. Wallahu a'lam bi ash-shawab.

* Penulis adalah Pengamat Ekonomi dan Peradaban Islam

Selasa, 20 April 2010

Gelembung Perekonomian; Sebuah Fatamorgana

oleh MERZA GAMAL
MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)


Dalam sebuah siklus ekonomi, pasang surut perekonomian merupakan sebuah hal yang lumrah terjadi. Sebuah siklus ekonomi, selalu melihatkan adanya fase lonjakan yang tanpa terelakkan akan disusul oleh sebuah peluruhan (bust).

Era Ekonomi Baru yang lahir setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet, telah menjadikan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa tunggal dan menandai kemenangan ekonomi pasar atas sosialisme.  Kondisi pasar yang terjadi pada era ekonomi baru, bukan hanya kapitalisme mengalahkan komunisme, tetapi juga menjadikan kapitalisme versi Amerika yang didasari kegigihan individualisme mengalahkan versi-versi kapitalisme lain yang lebih lunak dan halus (Stiglitz, 2003).

Seiring proses globalisasi, maka terjadilah penyebaran kapitalisme gaya Amerika ke seluruh dunia. Semua pihak, pada awal era ekonomi baru seolah memperoleh manfaat dari tatanan Economia Americana. Tatanan ini mendorong peningkatan aliran dana yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari negara maju ke dunia berkembang, yakni enam kali lipat dalam enam tahun, peningkatan perdagangan yang mencapai 90% lebih dalam satu dekade, dan angka pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Kondisi ini diharapkan akan menciptakan lapangan kerja yang besar dan pertumbuhan kesejahteraan yang lebih baik. Inti kapitalisme era baru ini ditandai dengan kehadiran perusahaan-perusahaan teknologi yang merevolusi cara dunia berbisnis. Ia juga mengubah laju perubahan teknologi itu sendiri dan meningkatkan tingkat pertumbuhan produktivitas ke taraf yang tidak tercapai dalam seperempat abad lebih.

Dunia pernah mengalami revolusi ekonomi pada abad 18-19, yakni Revolusi Industri, yang menggeser basis perekonomian dari pertanian ke manufaktur. Era Ekonomi Baru juga menunjukkan pergesaran perekonomian sebagaimana Revolusi Industri. Pergeseran yang terjadi pada Era Ekonomi Baru adalah pergeseran produksi “barang” (manufaktur) ke produksi “gagasan”. Ekonomi Baru, lebih memerlukan pengolahan informasi dibandingkan persediaan barang. Mulai pertengahan era 1990-an, sektor manufaktur menyusut mendekati 14% dari total output perekonomian. Hal ini berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja yang bahkan jauh lebih kecil dari era sebelumnya.

Berubahnya basis perekonomian dari manufaktur ke gagasan, menjadikan perusahaan teknologi menjadi primadona dalam lapangan bisnis era ekonomi baru. Perusahaan-perusahaan teknologi menjadi rebutan para investor untuk menginvestasikan dana mereka. Rebutan investor dalam mengiventasikan dananya pada suatu sektor dapat mengakibatkan munculnya “kegairahan irasional”  dalam sebuah pasar. Perlu disadari, bahwa dalam ekonomi pasar, harga merupakan faktor penting guna membangun kepercayaan dan berfungsi sebagai sinyal yang menuntun alokasi sumber daya. Jika harga didasari oleh informasi mengenai fakta dasar suatu pasar tertentu, maka keputusan yang dibuat investor berdasarkan harga tersebut merupakan keputusan yang sehat. Dengan demikian, sumber daya akan dialokasikan dengan baik dan perkeonomian akan tumbuh dengan wajar.

Akan tetapi, apabila harga-harga sesungguhnya bersifat acak yang didasari oleh keranjingan irasional spekulator pasar, maka investasi akan kacau balau. Spekulasi muncul akibat terlalu mengandalkan kepercayaan pasar dibandingkan pengetahuan tentang pasar, dan kurang mengindahkan ekonomi riil yang melandasi pemilihan investasi. Hal tersebut memunculkan sebuah “kegairahan irasional”, sehingga harga-harga yang terjadi hanya didasari oleh keranjingan semata. Demi mengejar kenaikan harga dan keuntungan, para investor mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan normal perilaku investasi rasional. Mereka melakukan investasi di dalam pasar yang sebenarnya bercirikan risiko tinggi.

Perkembangan yang tidak rasional tersebut, menurut Gilpin & Gilpin (2000), merupakan tahap “mania” atau “gelembung” dalam bom. Pada saat tahap ini semakin cepat, maka harga dan laju penambahan uang yang dispekulasikan pun meningkat. Kemudian, pada titik tertentu pasar akan mencapai puncaknya. Beberapa investor dalam mulai mengkonversi investasinya ke bentuk uang atau memindahakan ke investasi lain, untuk mengantisipasi kondisi yang akan terjadi berikutnya.Melihat hal itu, banayak spekulan yang sadar, bahwa “permainan” akan berkahir dan ikut menjual asset-asset investasi mereka. Lomba adu cepat untuk keluar dari asset-asset yang berisiko dan bernilai tinggi menjadi semakin sengit, dan pada akhirnya berubah menjadi gerombolan liar yang mengejar kualitas dan keamanan.

Peritiwa tersebut dapat menimbulkan sinyal pasar yang memicu kekacauan dan menyebabkan paniknya dunia keuangan. Kepanikan tersebut dapat berupa kegagalan bank, bangkutnya suatu perusahaan, atau sejumlah peristiwa yang tidak mendukung lainnya. Ketika para investor terburu-buru keluar dari pasar, harga-harga pun berjatuhan, kebangkutan meningkat, dan “gelembung” spekulasi akhirnya meletus yang menyebabkan harga ambruk. Kepanikan terjadi setelah para investor dengan putus asa mencoba menyelamatkan diri mereka sedapat mungkin. Kemudian, bank-bank menghentikan pinjaman yang menyebabkan remuknya kredit, satu resesi, atau bahkan mungkin depresi mengikutinya. Pada akhirnya, panic akan mereda dengan cara tertentu, ekonomi terpulihkan, dan pasar kembali pada kesetimbangan, setelah membayar sedemikian mahal.

Menurut Stiglitz (2003), selama bertahun-tahun, semakin banyak bukti bahwa pasar sering tidak berjalan dengan baik. Walaupun, hubungan antar harga saham dengan informasi masuk akal, tetapi seringkali naik turunnya harga tidak demikian. Fluktuasi pasar benar-benar acak. Sifat pasar yang acak dan tidak efisien mempunyai biaya yang mahal dan menyebabkan suatu perusahaan mendapatkan investasi berlebih, sementara sebagian perusahaan lain mendapatkan investasi telalu sedikit bahkan mungkin tidak dapat sama sekali.

Pertumbuhan ekonomi di era ekonomi baru yang seringkali diwarnai dengan kegairahan irasional, juga menimbulkan suatu kondisi lain. Kondisi tersebut melahirkan pemisahan yang semakin besar antara kepemilikan dengan pengelolaan korporasi. Pengelola perusahaan atas nama jutaan pemegang saham mengelola korporasi. Namun, pemegang saham awam sulit memahami apa yang sesungguhnya terjadi atas investasi mereka pada korporasi tersebut. Kondisi yang terjadi saat ini dikenal sebagai modal uang atau kapitalisme uang (Korten, 1999). Pemilik modal menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari realitas perdagangan praktis. Mereka menggantungkan hidup dari pendapatan yang diperoleh dari kepemilikan uang dan mengharapkan tabungan yang diinvestasikan semakin menumpuk, namun kondisi tersebut menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya.

Kapitalisme uang telah memberikan kesempatan kepada orang yang memiliki uang untuk meningkatkan tututan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya tanpa memberi kontribusi kepada produksinya. Aktivitas seperti itu, menyebabkan sejumlah kecil orang menjadi kaya tapi tidak produktif. Menurut Korten, ketidakmampuan kapitalisme uang untuk membedakan antara investasi yang produktif dan yang ektraktif merupakan salah satu sifat yang menjadi ciri khasnya. Berdasarkan logika kapitalisme uang, definisi uang adalah kekayaan, dan tujuan aktivitas ekonomi adalah bagaiman menciptakan uang sebanyak mungkin.

Dari sebuah studi yang dilakukan oleh Mc Kinsey, dilaporkan bahwa antara tahun 1980-1992, asset keuangan negara-negara OECD (the Organization for Economic Cooperation and Development, yang merupakan 29 negara industri utama) tumbuh dua kali lebih cepat daripada pertumbuhan PDB mereka. Hal itu, menunjukkan bahwa tuntutan yang potensial terhadap hasil ekonomi berkembang dua kali lipat daripada laju pertumbuhan hasil itu sendiri. Pembesaran asset keuangan seperti itu, merupakan suatu distorsi ekonomi yang amat menyesatkan. Penyesatan itu terjadi, menurut Korten, karena pemindahan kekuasaan ekonomi dari orang yang menciptakan kekayaan yang sesungguhnya kepada orang membuat uang.

Menciptakan sebuah gelembung keuangan, telah menjadi salah satu cara membuat uang tanpa memberikan kontribusi produktif bagi sebagian orang. Seringkali terjadi, suatu lembaga mempromosikan sebuah skema invetasi yang tidak didukung oleh suatu aktivitas yang produktif. Banyak pemilik tabungan tergoda untuk ikut serta menanamkan investasinya akibat kepiawaian promosi yang dilakukan dengan janji keuntungan yang sangat besar setiap bulan. Oleh karena banyaknya dana yang masuk, dengan gampang pihak yang melakukan promosi tersebut memakai sebagian uang dari investor untuk membayar keuntungan-keuntungan yang telah dijanjikan kepada investor yang datang terlebih dahulu. Pembayaran keuntungan ini menimbulkan rasa percaya terhadap skema itu, sehingga menambah keyakinan banyak orang untuk berinvestasi. Akibatnya, banyak orang dicengkram demam spekulasi dan menjual asset mereka untuk ikut serta dalam keuntungan besar yang dijanjikan  berupa harta kekayaan yang diperoleh tanpa susah payah. Kemudian, pada titik tertentu, semua menjadi terbalik. Asset yang dipertaruhkan untuk mendapatkan kekayaan yang luar biasa, hanya menjadi impian kosong dengan hilangnya pihak yang seharusnya bertanggungjawab.

Gelembung keuangan (financial bubble) yang bersifat spekulatif tersebut melibatkan penawaran benda-benda yang jauh lebih besar daripada nilai yang sesungguhnya. Hal itu merupakan bentuk penipuan yang canggih dan terselubung serta memakan banyak korban. Menurut Korten (1999), kondisi itu, juga dapat terjadi dalam bursa dunia. Banyak orang berdasarkan keyakinan yang salah, bahwa membeli saham atau reksa dana akan menghasilkan keuangan yang produktif di masa depan. Akan tetapi, berdasarkan angka Federal Reserve tahun 1993, pendanaan saham yang dijual melalui penjualan saham baru hanya menyumbang empat persen terhadap seluruh modal keuangan dari perusahaan-perusahaan terbuka di Amerika Serikat. Sisa modal didapatkan dari pinjaman sebesar 14%, dan pendapatan yang ditahan sebesar 82%. Banyak orang tidak sadar, bahwa ternyata perusahaan-perusahaan tersebut lebih banyak mengeluarkan uang untuk membeli saham mereka sendiri dibandingkan dengan apa yang mereka terima dari penerbitan saham-saham baru.

Era ekonomi baru telah membawa sebuah era di mana milyaran dolar dalam bentuk “investasi” baru mengalir amat deras ke pasar saham dan menaikkan harga-harga dengan kecepatan yan belum pernah terjadi sebelumnya. Akan tetapi, aliran dana yang murni dari pasar saham ke perusahaan pada hakikatnya adalah negatif. Menurut Korten, sesungguhnya, pasar saham adalah sebuah kasino judi canggih dengan wataknya yang unik. Para pemain di pasar saham, melalui interaksinya, memperbesar harga saham-saham yang dimainkan demi menambah asset keuangan kolektif mereka. Hal itu, memperbesar tuntutan mereka terhadap kekayaan yang sesungguhnya dari anggota masyarakat yang lain.

Berjalannya permainan tersebut, dapat dirasakan dari krisis moneter Asia akibat perputaran pasar saham dunia yang berdampak terhadap kehidupan manusia-manusia sesungguhnya. Pada tahun 1997, mukjizat keuangan Asia yang sering digembar-gemborkan sebelumnya, tiba-tiba berubah menjadi kehancuran keuangan Asia. Kehancuran tersebut dimulai dari Thailand, dan kemudian dengan cepat mejalar, sebagaimana deretan kartu domino yang berjatuhan, ke Malaysia, Indonesia, Korea Selatan, dan Hong Kong.

Pada fase mukjizat Asia, pemasukan mata uang asing yang besar dengan cepat mencetuskan gelembung-gelembung keuangan yang berkembang dalam saham dan real estate. Pertumbuhan yang cepat dalam impor dan penjualan barang-barang konsumsi mewah, menciptakan sebuah khayalan kemakmuran ekonomi yang tidak ada hubungannya dengan suatu pertambahan dalam hasil produkstif yang sesungguhnya. Gelembung-gelembung yang semakin berkembang itu, lalu menarik lebih banyak uang lagi. Uang tersebut diciptakan oleh bank-bank internasional yang menerbitkan hutang yang diperoleh karena asset-asset yang digelembungkan itu. Hasil-hasil yang diperoleh dari investasi industri dan pertanian produktif tidak dapat bersaing dengan hasil-hasil yang diperoleh dari spekulasi saham dan real estate. Oleh karena itu, investasi asing yang masuk ke dalam sebuah negara, memperbanyak uang-uang yang mengalir keluar dari sektor-sektor produktif untuk ikut serta dalam ajang spekulasi.

Pada fase kehancuran, para investor bergegas menarik uang mereka keluar untuk mengantisipasi keambrukan. Harga saham dan real estate menjadi jatuh. Bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya dibiarkan begitu saja dengan sejumlah besar daftar hutang yang tidak dapat ditagih. Kehancuran keuangan mengancam karena likuiditas telah kering.

Untuk menyelamatkan kondisi tersebut, pemerintah membayarkan hutang-hutang para banker dan badan-badan investasi dengan uang pemerintah. Kemudian, IMF bergegas membantu dengan hutang darurat yang dijamin oleh pemerintah. Sebagai contoh, IMF memberikan bantuan USD 57 milyar kepada Korea Selatan pada bulan Desember 1997. Pasar saham Korea meningkat kembali dengan bergairah untuk seketika. Kemudian, para spekulator mengambil uang IMF itu dan melarikan diri. Akibatnya, pasar saham menderita kejatuhan 50% dan pembayar pajak Korea mendapatkan surat hutang IMF sebanyak USD 57 milyar ditambah dengan bunga yang harus dibayar dalam valuta asing.

Pengalaman Asia, mengajarkan, bahwa suatu kenyataan yang amat umum terjadi, yaitu kemampuan kapitalisme untuk menciptakan sebuah khayalan kemakmuran dengan jalan menciptakan demam spekulasi. Hal yang terjadi sebenarnya, adalah sebuah kenyataan yang menggerogoti aktivitas yang benar-benar produktif. Banyak pihak terhanyut dalam kehancuran gelembung-gelembung keuangan yang disebabkan oleh spekulasi uang di pasar saham dan peminjaman uang yang tidak bertanggungjawab oleh bank. Namun demikian, tampaknya para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme itu, tetap tidak mempan dan tidak paham terhadap perbedaan investasi produktif (yaitu menggunakan tabungan untuk menambah dasar modal produktif) di satu pihak, dan investasi yang ekstraktif (yaitu menghasilkan uang dengan jalan spekulasi untuk mengajukan tuntutan kekayaan orang lain yang benar-benar ada) di lain pihak.

Ketidakpahaman para pihak yang terlibat dalam lingkaran kapitalisme uang tersebut, mungkin terkait dengan terjadinya transaksi keuangan internasional yang lebih besar daripada harga keseluruhan ekonomi global pada dekade terakhir. Volume perdagangan uang internasional mencapai USD 1,5 milyar per hari, atau meningkat delapan kali lipat dari dekade sebelumnya. Namun, sebaliknya volume ekspor barang dan jasa global selama satu tahun hanya USD 6,6 trilyun atau hanya USD 25 milyar per hari. Hal itu memperlihatkan, bahwa betapa mencoloknya perbedaan perdagangan riil dibandingkan dengan perdagangan asset-asset keuangan yang bersifat maya.

Logika kapitalisme uang yang kurang memperdulikan tindakan-tindakan dalam membuat tambahan bersih kepada hasil produk dan jasa, mengakibatkan tidak satu sen pun investasi dalam menciptakan atau mempertinggi suatu asset yang produktif. Tujuan kapitalisme uang hanya menambah keseluruhan nilai pasar dari surat-surat berharga yang diperdagangkan, sehingga hanya berfungsi untuk menciptakan gelembung-gelembung uang sementara. Gelembung-gelembung tersebut akan menambah tuntutan mereka yang memegang sekuritas dalam menghadapi kekayaan masyarakat yang sesungguhnya.

Dengan kondisi demikian, menurut Korten, kapitalisme uang telah melupakan produksi dan kepentingan-kepentingan kelas pekerja, masyarakat, dan alam. Logika kapitalisme uang, saat ini, sedang mengendalikan pembuatan kebijakan-kebijakan dalam ekonomi global, dan sedang menyebabkan keruntuhan keuangan dari sebuah negara ke negara lain. Di bawah kekuasaan kapitalisme uang, penghargaan akan jatuh kepada mereka yang membuat uang, bukan kepada pekerja yang digaji dan benar-benar membuat hal-hal yang para pembuat uang itu ingin membelinya.

Akhirnya teori ekonomi yang menyatakan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan meningkatnya kesempatan kerja tidak selalu menjadi kenyataan pada saat ini, dan telah menjadi teori yang usang. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang disebabkan gelembung-gelembung keuangan tidak lebih dari sebuah fatamorgana yang menyilaukan.

Sukuk it up: Sharia-compliant finance is not broken, but it is dented

Apr 15th 2010 | From The Economist print edition


THERE was a time when proponents of Islamic finance sniffed opportunity in the crisis. The problems of speculative, casino-like Western banks contrasted nicely with the emphasis that sharia-compliant finance places on an ethical, risk-sharing approach. But risk-sharing looks much less appealing when issuers are defaulting.

Senin, 22 Maret 2010

Lowongan BMI

 
 
 
 
Bank Muamalat Cabang Cengkareng membutuhkan karyawan untuk posisi:
1. Customer Service (Wanita)
2. Legal (Pria)
3. Account Manager (Pria)
Persyaratan:
•Pendidikan S1 dari segala jurusan (1,3)
•Pendidikan S1 jurusan Hukum (2)
•Umur Maksimal 27 Tahun/Belum menikah (1,2,3)
•Menguasai document administrasi Legal Perbankan (2)
•Mampu mengoperasikan komputer dengan baik (1,2,3)
•Memiliki Kemampuan Bahasa Inggris aktif dan pasif (1,2,3)
•Memiliki Kemampuan Komunikasi Yang Baik (1,2,3)
•Dinamis, kreatif dan inovatif (1,2,3)
•Diutamakan memiliki pengalaman 1 tahun di bidangnya masing-masing (1,2,3)
•Berpenampilan menarik, tinggi min. 160 cm (1)
Kirimkan atau datang langsung dengan membawa surat lamaran, CV dan persyaratan lainnya mulai tanggal 10 s.d. 26 Maret 2010 pada hari dan jam kerja, ke alamat:
BANK MUAMALAT CABANG CENGKARENG
Komplek Ruko  Mutiara Taman Palem  Blok A 3, No. 32-33,
Cengkareng, Jakarta Barat
Telp : 021 – 5435  0004
Kontak Person : Bangroy

Kamis, 18 Maret 2010

Workshop dan Training Hukum Waris Islam

 
WORKSHOP DAN TRAINING
HUKUM WARIS SESUAI DENGAN KETENTUAN ISLAM


Pendahuluan
Pelajarilah ilmu mawarits dan ajarkanlah, karena sesunguhnya suatu saat aku akan meninggal, dan ilmu ini –mawarits– akan hilang, dan aku takut jika nanti terdapat dua orang yang bertikai dalam permasalahan warisan sedangkan mereka tidak menemukan orang yang dapat memberikan solusi bagi mereka.
 (HR Ahmad)



Jika kita amati dan perhatikan tentang hukum waris (faraidh) dalam ketentuan syariat Islam, maka akan kita temukan ayat-ayat Al Qur’an yang secara langsung dan terperinci mengatur bagian-bagian tertentu (al-furudh al-muqaddarah) yang berhak dimiliki oleh masing-masing ahli waris. Hal ini berbeda dengan kewajiban lainnya yang pada umumnya ayat Al-Qur’an selalu datang dalam bentuk global (ijmaliy). Seperti perintah untuk shalat, membayar zakat dan menunaikan haji, Al-Qur’an tidak menerangkan secara detail kapan seorang muslim harus shalat, harta apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya, dan bagaimana menunaikan haji, apa syarat, rukun dan yang membatalkan sebuah ibadah, semua itu diterangkan oleh Rasulullah Saw dalam sunnahnya. Oleh karena itu dapat kita ambil kesimpulan bahwa penerapan hukum waris memang benar-benar penting dan merupakan suatu keharusan.hingga Allah SWT harus menetapkannya secara detail dalam Al Qur’an.

Senin, 22 Februari 2010

Banyak Bank Islam Langgar Aturan Syariah

Kurangnya sumber daya manusia pelaku perbankan Islam yang benar-benar memahami hukum syariah, jadi penyebab terjadinya pelanggaran oleh bank Islam

Hidayatullah.com--Sebagian lembaga keuangan Islam tidak mematuhi hukum syariah. Mereka  menggunakan standar yang rendah dalam pemberian kredit, sehingga menaikan jumlah kredit macet. Demikian kata seorang pakar keuangan syariah.

Jumat, 12 Februari 2010

Menggugat Paradigma Free Trade

Pemberlakuan ACFTA tahun ini telah menyulut pro kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat meresponnya dengan melakukan unjuk rasa menolak ACFTA, karena dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi nasional yang masih terkena dampak krisis global. Belum lagi ditambah dengan masih rendahnya daya saing produk lokal kita di pasar global. Hal ini berpotensi mengancam bangkrutnya sejumlah industri lokal, seperti produsen tekstil dan jamu, akibat kalah bersaing, terutama dengan produk-produk China yang dianggap lebih murah

Sampai 2030, Kebutuhan SDM Syariah 184 Ribu

JAKARTA-–Tingginya pertumbuhan industri keuangan syariah hingga rata-rata 30 persen membutuhkan dukungan tenaga sumber daya manusia yang profesional. Menurut guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, dalam 20 tahun ke depan diperlukan banyak tenaga kerja islami profesional.

“Untuk mewujudkan pembangunan sumber daya manusia yang berkualitas masih diperlukan tenaga kerja Islami sebanyak 184.800 orang,” kata Suroso. Jumlah tersebut terdiri dari 8.400 tenaga doktor ilmu ekonomi Islam, 25.200 lulusan magister ekonomi Islam, lulusan sarjana sebanyak 50.400 orang, dan tenaga ahli madya 100.800 orang. 

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pun setidaknya diperlukan lebih banyak perguruan tinggi dalam  program doktor. Di antara universitas yang memiliki program doktor ilmu ekonomi Islam adalah Universitas Airlangga dan Universitas Trisakti. Industri keuangan syariah yang terus tumbuh serta lembaga pendidikan yang mulai membuka program studi ekonomi Islam membuat kebutuhan SDM ekonomi Islam amat dibutuhkan.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Agustianto, mengatakan riset mengenai ekonomi syariah saat ini masih kurang karenanya perlu terus didorong. Selain dengan pembukaan program studi ekonomi syariah, diperlukan pula SDM tenaga pengajar mulai dari lulusan S2 hingga tingkat profesor. “Untuk program S3 wajib ada dua orang profesor, untuk S1 harus ada enam orang magister, untuk buka S2 harus ada paling tidak dua orang doktor,” kata Agustianto.

Guru Besar IAIN Medan, Amiur Nuruddin mengatakan keberadaan SDM di suatu lembaga memang sangat menentukan kinerja, produktifitas dan keberhasilan suatu institusi. “Bagi perbankan syariah sebagai institusi bisnis yang berbasis nilai dan prinsip syariah, kualifikasi dan kualitas SDM jelas lebih dituntut adanya keterpaduan antara knowledge, skill, dan ability dengan komitmen moral dan integritas pribadi,” kata Amiur.

sumber: Republika Online

Jumat, 05 Februari 2010

Lowongan Bank Mega Syariah


Bank Mega Syariah merupakan salah satu perusahaan yang berada dalam kelompok usaha Para Group, yang juga menaungi PT Bank Mega Tbk, Trans TV, Trans 7, Para Finance, Mega Life, Asuransi Umum Mega, Mega Capital, Coffee Bean, Ice Cream Baskin & Robins, Bandung Super Mall, Trans Studio dan beberapa perusahaan terkemuka lainnya.Untuk menunjang ekspansi usahanya Bank Mega Syariah memberikan kesempatan kepada anda yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan untuk mengisi posisi:

Banker Syariah Harus Mempertajam Fiqh Muamalah

Seiring dengan tantangan kedepan bisnis syariah diperlukan kemampuan para banker syariah dalam menguasai fiqh Muamalah, hal ini untuk menjawab dinamika bisnis syariah yang terus berkembang dengan pesat. Peryataan ini disampaikan oleh Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Agustianto, saat berbicara dengan KBES di Jakarta.

Selama ini menurut Agus, masih sedikit para banker syariah menguasai fiqh-fiqh Muamalah akibatnya produk-produk yang ditawarkan oleh bank syariah tak sebanding dengan jumlah akad-akad yang ada dalam ekonomi syariah. Hal ini menurutnya tak lepas dari kemampuan dalam menerjemahkan pengembangan fiqh Muamalah.

Kamis, 04 Februari 2010

Hukum Jual Beli Kredit

Jual Beli Kredit (sell or buy on credit/installment) dalam bahasa Arabnya disebut Bai’ bit Taqsith yang pengertiannya menurut istilah syari’ah, ialah menjual sesuatu dengan pembayaran yang diangsur dengan cicilan tertentu, pada waktu tertentu, dan lebih mahal daripada pembayaran kontan/tunai. (Syarah Majalah al-Ahkam, no 157, vol III/110, Majallah asy-Syari’ah wad Dirasah Al-Islamiyah, Fak Syari’ah, Kuwait University, edisi VII, Sya’ban 1407, hal. 140, Al-Maurid, hal. 354, Lisanul ‘Arab, vol VII/377-378).

Jumhur ulama membolehkan praktik jual beli kredit (bai’ bit Taqsith) tanpa bunga, diantaranya adalah Imam Al-Khathabi dalam Syarh Mukhtashar Khalil (IV/375), Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ah Fatawa (XXIX/498-500), Imam Syaukani dalam Nailul Authar (V/249-250), Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni dengan menukil pendapat Thawus, Hakam dan Hammad yang membolehkannya (IV/259). 

Demikian pula ulama mutakhirin seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah dalam majalah al-Iqtishad al-Islami, I/42 no. 11 th. 1402H dimana beliau mengatakan: “Saya pernah ditanya tentang hukum jual-beli sekarung gula pasir dan sebagainya, yang dicicil sampai pada waktu yang telah ditentukan dengan ketentuan harga yang lebih tinggi daripada kontan. Maka saya jawab, mu’amalah ini sah. Sebab jual-beli kontan berbeda dengan jual-beli kredit, sementara seluruh umat Islam mengamalkan mu’amalah ini.

Jadi, mereka telah sepakat atas bolehnya jual-beli ini.” Syekh Abdul Wahhab Khallaf seperti dimuat dalam majalah Liwa’ul Islam, no. 11 hlm. 122 juga memandangnya halal. 

Fatwa Muktamar pertama al-Mashraf al-Islami di Dubai yang dihadiri oleh 59 ulama internasional, fatwa Direktorat Jenderal Riset, Dakwah dan Ifta’ serta Komisi Fatwa Kementrian Waqaf dan Urusan Agama Islam Kuwait semua sepakat bahwa tidak ada larangan bagi penjual menentukan harga secara kredit lebih tinggi daipada ketentuan harga kontan. Penjual boleh saja mengambil keuntungan dari penjualan secara kredit dengan ketentuan dan perhitungan yang jelas. (Majalah asy-Syari’ah Kuwait, Rajab 1414, hlm.264, Majalah al-Iqtishad al-Islami, I/3 th 1402, hlm. 35, Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, no. 6 Rabi’ Tsani, 1403H, hlm.270)

Dalil syari’ah dalam membolehkan akad jual-beli kredit (bai’ bit taqsith) diambil dari dalil-dalil al-Qur’an yang menghalalkan praktik bai’ (jual-beli) secara umum, diantaranya firman Allah: “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah:275) “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” (al-Baqarah:282) Namun para ulama ketika membolehkan jual-beli secara kredit dengan ketentuan selama pihak penjual dan pembeli mengikuti kaidah dan syarat-syarat keabsahannya sebagai berikut:

1. Harga barang ditentukan jelas dan pasti diketahui pihak penjual dan pembeli.

2. Pembayaran cicilan disepakati kedua belah pihak dan tempo pembayaran dibatasi sehingga terhindar dari parktik bai’ gharar, ‘bisnis penipuan’.

3. Harga semula yang sudah disepakati bersama tidak boleh dinaikkan lantaran pelunasannya melebihi waktu yang ditentukan, karena dapat jatuh pada praktik riba.

4. Seorang penjual tidak boleh mengeksploitasi kebutuhan pembeli dengan cara menaikkan harga terlalu tinggi melebihi harga pasar yang berlaku, agar tidak termasuk kategori bai’ muththarr, ‘jual-beli dengan terpaksa’ yang dikecam Nabi saw.

Menganai pertanyaan tentang jual-beli mobil secara kredit yang banyak dilakukan orang dengan bunga tertentu, fatwa direktorat jenderal riset, dakwah dan ifta’ menjelaskan bahwa jika dalam jual-beli kredit terdapat kenaikan harga (bunga) lantaran terlambatnya pelunasan dari pihak pembeli, maka menurut ijma’ ulama tidak sah, karena di dalamnya terkandung unsur riba jahiliyah yang diharamkan Islam. (Majalah al-Buhuts al-islamiyah, no. 6 Th. 1403, hlm 270) 

Kalaupun terpaksa harus membeli secara kredit dari penjual barang yang memberlakukan sistem bunga ini, maka pembeli realitasnya harus yakin mampu mencicil dan melunasinya tepat waktu tanpa harus terjerat pembayaran bunga tunggakan, agar terhindar dari laknat rasulullah karena membayar uang riba. 

Kartu kredit pada hakekatnya sebagai sarana mempermudah proses jual-beli yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang sangat riskan. Status hukumnya menurut fiqih kontemporer adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan). Perusahaan perbankan dalam hal ini yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi pengguna kartu kredit tersebut dalam transaksi jual beli. Oleh karena itu berlaku di sini hukum masalah ‘kafalah’. 

Para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam mu’amalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Allah berfirman: “dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72) Ibnu Abbas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “za’im” dalam ayat tersebut adalah “kafil”. Sabda Nabi saw.: “az-Za’im Gharim” artinya; orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Hibban). Ulama sepakat (ijma’) tentang bolehnya praktik kafalah karena lazim dibutuhkan dalam mu’amalah. (Lihat, Subulus Salam, III/62, Al-Mabsuth, XIX/160, Al-Mughni, IV/534, Mughnil Muhtaj, II/98).

Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (suka rela) yang bernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerjasama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Tetapi kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya, maka sah sah saja.

Tetapi jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan jasa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya.

Tetapi bisnis jasa kartu kredit tersebut boleh selama dalam prakteknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Disamping itu ketentuan uang jasa kafalah tadi tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kerdit tertentu. (Lihat, DR. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161) 

Dengan demikian dibolehkan bagi umat Islam untuk menggunakan jasa kartu kredit (credit card) yang tidak memakai sistem bunga. Namun bila terpaksa atau tuntutan kebutuhan mengharuskannya menggunakan kartu kredit biasa yang memakai ketentuan bunga, maka demi kemudahan transaksi dibolehkan memakai semua kartu kredit dengan keyakinan penuh menurut kondisi finansial dan ekonominya mampu membayar utang dan komitmen untuk melunasinya tepat waktu sebelum jatuh tempo agar tidak membayar hutang. 

Hal itu berdasarkan prinsip fiqih ‘Saddudz Dzari’ah’, artinya sikap dan tindakan prefentif untuk mencegah dari perbuatan dosa. Sebab, hukum pemakan dan pemberi uang riba adalah sama-sama haram berdasarkan riwayat Ibnu Mas’ud bahwa: “Rasulullah saw melaknat pemakan harta riba, pembayar riba, saksi transaksi ribawi dan penulisnya.” (HR.Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Wallau A’lam, wa billahit Taufiq wal Hidayah.

Rabu, 03 Februari 2010

Kerapuhan Sistem Finansial Kapitalis

1. PENDAHULUAN

Aktivitas ekonomi senantiasa berputar dalam dua kelompok pasar. Pasar yang pertama disebut pasar barang, yang terdiri dari pasar barang dan jasa. Pasar yang kedua disebut pasar faktor produksi, yang terdiri dari pasar lahan, pasar tenaga kerja dan pasar keuangan. Keberadaan pasar faktor produksi tentu saja adalah untuk mendukung keberadaan pasar barang.

Namun, dalam perkembangan sistem ekonomi kapitalisme, ada pasar salah satu dari pasar faktor produksi yang mengalami perkembangan teramat pesat. Pasar tersebut tidak lain adalah pasar keuangan atau yang biasa dikenal dengan financial market. Pesatnya perkembangan pasar ini bahkan sampai mengakibatkan pasar ini terlepas dari induknya, kemudian menjadi pasar yang berkembang sendiri. Keberadaan pasar ini kemudian dikenal dengan pasar non riil, sebagai lawan dari pasar riil atau pasar barang.

Senin, 01 Februari 2010

Perencanaan Keuangan Perusahaan & Pembiayaan Bank Syariah

Pada akhir tahun 2008 s/d masuk tahun 2009, seorang pengusaha rumah sakit Dr.Budi namanya (nama samaran red) , dipusingkan dengan cash flow perusahaannya yang mendadak berubah drastis dari yang direncanakan karena pos pengeluaran biaya bunga pinjaman ke salah satu bank konvensional tiba – tiba mengalami kenaikan cukup signifikan dari 11% pa menjadi 16%-18%pa karena pengaruh krisis global pada saat itu yang berimbas kepada kenaikan tingkat suku bunga pinjaman di tanah air.

Apa yang dialami oleh perusahaan Dr.Budi tsb juga dialami oleh perusahaan – perusahaan lain di Indonesia kecuali oleh perusahaan – perusahaan yang sudah melakukan pembiayaan dengan bank syariah sebelum terjadinya krisis global, karena perusahaan-perusahaan yang sudah melakukan pembiayaan dengan bank syariah akadnya adalah murabahah/mudharabah yang bebas dari fluktuasi suku bunga, yang mana bank syariah tidak boleh melakukan perubahan pricingnya yang tercantum pada saat akad walaupun fluktuasi tingkat suku bunga pasar sedang mengalami kenaikan yang tinggi.

Kuliah Informal Ekonomi Islam Online

Berbagai krisis ekonomi yang pernah mengguncang dunia, ditengarahi sebagai salah satu salah satu kelemahan sistem ekonomi yang berlaku saat ini yang cenderung bersifat kapitalistik. Hal ini memunculkan wacana perlunya sistem ekonomi alternatif. Salah satunya adalah sistem ekonomi islam yang dari waktu ke waktu semakin diperhatikan, diperhitungkan dan diyakini mampu menghadirkan tatanan perekonomian yang lebih baik.

Sabtu, 30 Januari 2010

Pengertian Upah dalam Konsep Islam

Upah menurut pengertian Barat terkait dengan pemberian imbalan kepada pekerja tidak tetap, atau tenaga buruh lepas, seperti upah buruh lepas di perkebunan kelapa sawit, upah pekerja bangunan yang dibayar mingguan atau bahkan harian. Sedangkan gaji menurut pengertian Barat terkait dengan imbalan uang (finansial) yang diterima oleh karyawan atau pekerja tetap dan dibayarkan sebulan sekali. Sehingga   dalam pengertian barat, Perbedaan gaji  dan upah itu terletak pada Jenis karyawannya (Tetap atau tidak tetap) dan sistem pembayarannya (bulanan atau tidak).  Meskipun titik berat antara upah dan        gaji    terletak    pada     jenis     karyawannya apakah tetap ataukah tidak.

“Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja”  (Konvensi ILO nomor 100).

Menurut Dewan Penelitian Perupahan Nasional : Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah dan akan dilakukan, berfungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persetujuan, undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi dan penerima kerja.

Dalam hal perbedaan pengertian upah dan gaji menurut konsep Barat di atas, maka Islam menggariskan upah dan gaji lebih komprehensif dari pada Barat.
Allah menegaskan tentang imbalan ini dalam Qur’an sbb :

“Dan katakanlah : “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu’min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan.” (At Taubah : 105).

Dalam menafsirkan At Taubah ayat 105 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
Bekerjalah Kamu, demi karena Allah semata dengan aneka amal yang saleh dan bermanfaat, baik untuk diri kamu maupun untuk masyarakat umum, maka Allah akan melihat yakni menilai dan memberi ganjaran amal kamu itu”

Tafsir dari melihat dalam keterangan diatas adalah menilai dan memberi ganjaran terhadap amal-amal itu.  Sebutan lain daripada ganjaran adalah imbalan atau upah atau compensation.

“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik apa yang telah mereka kerjakan.” (An Nahl : 97).

Dalam menafsirkan At Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya Tafsir Al-Misbah sbb :
Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih, maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka semua di dunia  dan di akherat dengan pahala yang lebih    baik dan   berlipat  ganda dari  apa   yang telah mereka kerjakan“.

Tafsir dari balasan dalam keterangan d iatas adalah balasan di dunia dan di akherat.  Ayat ini menegaskan bahwa balasan atau imbalan bagi mereka yang beramal saleh adalah imbalan dunia dan imbalan akherat.  Amal Saleh sendiri oleh Syeikh Muhammad Abduh didefenisikan sebagai segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia secara keseluruhan.6 Sementara menurut Syeikh Az-Zamakhsari, Amal Saleh adalah segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal, al-Qur’an dan atau Sunnah Nabi Muhammad Saw.7 Menurut Defenisi Muhammad Abduh dan Zamakhsari diatas, maka seorang yang bekerja pada suatu badan usaha (perusahaan) dapat dikategorikan sebagai amal saleh, dengan syarat perusahaannya tidak memproduksi/menjual atau mengusahakan barang-barang yang haram.  Dengan demikian, maka seorang karyawan yang bekerja dengan benar, akan menerima dua imbalan, yaitu imbalan di dunia dan imbalan di akherat.

“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan baik.” (Al Kahfi : 30).

Berdasarkan tiga ayat diatas, yaitu  At-Taubah 105, An-Nahl 97 dan  Al-Kahfi 30, maka Imbalan dalam konsep Islam menekankan pada dua aspek, yaitu dunia dan akherat.  Tetapi hal yang paling penting, adalah bahwa penekanan kepada akherat  itu lebih penting daripada penekanan  terhadap    dunia    (dalam   hal   ini     materi) sebagaimana semangat dan jiwa Al-Qur’an surat Al-Qhashsash ayat 77.

Surat At Taubah 105 menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk bekerja, dan Allah pasti membalas semua apa yang telah kita kerjakan. Yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar.  Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar, maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan (An-Nahl : 97).

Lebih jauh Surat An-Nahl : 97 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam menerima upah / balasan dari Allah.  Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama.  Hal yang menarik dari ayat ini, adalah balasan Allah langsung di dunia (kehidupan yang baik/rezeki yang halal) dan balasan di akherat (dalam bentuk pahala).

Sementara itu, Surat Al-Kahfi : 30 menegaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia, pasti Allah balas dengan adil.  Allah tidak akan berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal hamba-Nya.  Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktek yang pernah terjadi di negeri Islam.

Lebih lanjut kalau kita lihat hadits Rasulullah saw tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :

Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).

Dari hadits ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (upah di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang.  Perkataan : “harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)” , bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian karyawan yang menerima upah.

Dalam hadits yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin Syadad Rasulullah s.a.w bersabda :

“Siap yang menjadi pekerja bagi kita,    hendaklah    ia   mencarikan    isteri (untuknya); seorang  pembantu  bila    tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR. Abu Daud).

Hadits ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal) merupakan kebutuhan azasi bagi para karyawan. Bahkan menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi karyawannya yang masih lajang (sendiri).  Hal ini ditegaskan lagi oleh Doktor Abdul Wahab Abdul Aziz As-Syaisyani dalam kitabnya Huququl Insan Wa Hurriyyatul Asasiyah Fin Nidzomil Islami Wa Nudzumil Ma’siroti bahwa mencarikan istri juga merupakan kewajiban majikan, karena istri adalah kebutuhan pokok bagi para karyawan.

Sehingga dari ayat-ayat  Al-Qur’an di atas, dan dari hadits-hadits di atas, maka dapat didefenisikan bahwa : Upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (Adil dan Layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Dari uraian diatas, paling tidak terdapat 2 Perbedaan konsep Upah antara Barat dan Islam: pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak. Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).

Tabel 1. Konsep Upah antara Barat dan Islam
No Aspek Barat Islam
1 Keterkaitan yang erat antara UPAH dengan MORAL Tidak Ya
2 Upah memiliki dua dimensi : Dunia dan akherat Tidak Ya
3 Upah diberikan berdasarkan Prinsip Keadilan  (justice) Ya Ya
4 Upah diberikan berdasarkan prinsip Kelayakan Ya Ya

ADIL
Organisasi yang menerapkan prinsip keadilan dalam pengupahan mencerminkan organisasi yang dipimpin oleh orang-orang bertaqwa.  Konsep adil ini merupakan ciri-ciri organisasi yang bertaqwa.  Al-Qur’an menegaskan :“Berbuat adillah, karena adil itu lebih dekat kepada Taqwa”. (QS. Al-Maidah : 8).

ADIL bermakna JELAS dan TRANSPARAN
“Hai orang-orang yang beriman, apabila   kamu   bemua’malah   tidak     secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.  Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.  Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.  Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.  Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu.  Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang  perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.  Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.  Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mua’malahmu itu), kecuali jika mua’malah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.  Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan.  Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 282)

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Maidah : 1).

Nabi bersabda :
“Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan”. (HR. Baihaqi).

Dari dua ayat Al-Qur’an dan hadits riwayat Baihaqi di atas, dapat diketahui bahwa prinsip utama keadilan terletak pada Kejelasan aqad (transaksi)  dan komitmen melakukannya.  Aqad dalam perburuhan adalah aqad yang terjadi antara pekerja dengan pengusaha.  Artinya, sebelum pekerja dipekerjakan, harus jelas dahulu bagaimana upah yang akan diterima oleh pekerja. Upah tersebut meliputi besarnya upah dan tata cara pembayaran upah.  Khusus untuk cara pembayaran upah, Rasulullah bersabda :
“Dari Abdillah bin Umar, Rasulullah Saw. Bersabda: “Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya“. (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).

Dalam menjelaskan hadits itu, Syeikh Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Pesan Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, menjelaskan sebagai berikut :
Sesungguhnya seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan, karena umat Islam terikat dengan syarat-syarat antar mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.  Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang benar atau sengaja menunaikannya dengan tidak semestinya, maka sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong upahnya) karena setiap hak dibarengi dengan kewajiban.  Selama ia mendapatkan  upah  secara penuh, maka kewajibannya juga harus dipenuhi.  Sepatutnya hal ini dijelaskan secara detail dalam “peraturan kerja” yang menjelaskan masing-masing hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Dari penjelasan Syeikh Qardhawi diatas, dapat dilihat bahwa upah atau gaji merupakan hak karyawan selama karyawan tersebut bekerja dengan baik. Jika pekerja tersebut tidak benar dalam bekerja (yang dicontohkan oleh Syeikh Qardhawi dengan bolos tanpa alasan yang jelas), maka gajinya dapat dipotong atau disesuaikan. Hal ini menjelaskan kepada kita bahwa selain hak karyawan memperoleh upah  atas apa yang diusahakannya, juga hak perusahaan untuk memperoleh hasil kerja dari karyawan dengan baik. Bahkan Syeikh Qardhawi mengatakan bahwa bekerja  yang baik merupakan  kewajiban karyawan atas hak upah yang diperolehnya, demikian juga, memberi upah merupakan kewajiban perusahaan atas hak hasil kerja karyawan yang diperolehnya.  Dalam keadaan masa kini, maka aturan-aturan bekerja yang baik itu, dituangkan dalam buku Pedoman Kepegawaian yang ada di masing-masing perusahaan. Hadits lain yang menjelaskan tentang pembayaran upah ini adalah :

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi Muhammad Saw. bahwa beliau bersabda: “Allah telah berfirman: “Ada tiga jenis manusia dimana Aku adalah musuh mereka nanti di hari kiamat. Pertama, adalah orang yang membuat komitmen akan memberi atas nama-Ku (bersumpah dengan nama-Ku), kemudian ia tidak memenuhinya. Kedua, orang yang menjual seorang manusia bebas (bukan budak), lalu memakan uangnya. Ketiga, adalah orang yang menyewa seorang upahan dan mempekerjakan dengan penuh, tetapi tidak membayar upahnya” (HR. Bukhari).

Hadits-hadits diatas menegaskan tentang waktu pembayaran upah, agar sangat diperhatikan.  Keterlambatan pembayaran upah, dikategorikan sebagai perbuatan zalim dan orang yang tidak membayar upah para pekerjanya termasuk orang yang dimusuhi oleh Nabi saw pada hari kiamat. Dalam hal ini, Islam sangat menghargai waktu dan sangat menghargai tenaga seorang karyawan (buruh).


ADIL bermakna PROPORSIONAL
“Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf  :  19).

“Dan kamu tidak dibalas, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Yaasin : 54).
“Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm : 39).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat pekerjaannya itu.  Konteks ini yang oleh pakar manajemen Barat diterjemahkan menjadi equal pay for equal job, yang artinya, upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama.  Jika ada dua orang atau lebih mengerjakan pekerjaan yang sama, maka upah mereka mesti sama.  Prinsip ini telah menjadi hasil konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 100.

Sistem manajemen penggajian HAY atau yang sering disebut dengan Hay System, telah menerapkan konsep ini.  Siapapun pekerja atau karyawannya, apakah tua atau muda, berpendidikan atau tidak, selagi mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, maka mereka akan dibayar dengan upah yang sama.

LAYAK
 Jika Adil berbicara tentang kejelasan, transparansi serta proporsionalitas ditinjau dari berat pekerjaannya,   maka  Layak  berhubungan dengan besaran yang diterima

LAYAK bermakna CUKUP PANGAN, SANDANG, PAPAN
Jika ditinjau dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah s.a.w bersabda :
“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Mustawrid bin Syadad Rasulullah Saw. bersabda:
Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda :  „Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri untuknya; ; seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. .  Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu   Bakar   mengatakan:
Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad bersabda  : Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri (HR Abu  Daud).

Dari dua hadits diatas, dapat diketahui bahwa kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dilihat dari 3 aspek yaitu : Pangan (makanan), Sandang (Pakaian) dan papan (tempat tinggal).  Bahkan bagi pegawai atau karyawan yang masih belum menikah, menjadi tugas majikan yang mempekerjakannya untuk mencarikan jodohnya.  Artinya, hubungan antara majikan dengan pekerja bukan hanya sebatas hubungan pekerjaan formal, tetapi karyawan sudah dianggap merupakan keluarga majikan.  Konsep menganggap karyawan sebagai keluarga majikan merupakan konsep Islam yang lebih 14 abad yang lalu telah dicetuskan.

Konsep ini dipakai oleh pengusaha-pengusaha Arab pada masa lalu, dimana mereka (pengusaha muslim) seringkali memperhatikan kehidupan karyawannya  di luar lingkungan kerjanya. Hal inilah yang sangat jarang dilakukan saat ini. Wilson menulis dalam bukunya yang berjudul Islamic Business Theory and Practice yang artinya kira-kira “walaupun perusahaan itu bukanlah perusahaan keluarga, para majikan Muslimin acapkali memperhatikan kehidupan karyawan di luar lingkungan kerjanya, hal ini sulit untuk dipahami para pengusaha Barat“.[1] Konsep inilah yang sangat berbeda dengan konsep upah menurut Barat. Konsep upah menurut Islam, tidak dapat dipisahkan dari     konsep moral.  Mungkin sah-sah saja jika gaji seorang   pegawai di Barat  sangat   kecil karena pekerjaannya sangat remeh (misalnya cleaning service).  Tetapi dalam konsep Islam, meskipun cleaning service, tetap faktor LAYAK menjadi pertimbangan utama dalam menentukan berapa upah yang akan diberikan.

LAYAK bermakna SESUAI DENGAN PASARAN
“Dan janganlah kamu merugikan manusia akan hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (QS. Asy-Syua’ra 26 : 183).

Ayat di atas bermakna bahwa janganlah seseorang merugikan orang lain, dengan cara mengurangi hak-hak yang seharusnya diperolehnya.  Dalam pengertian yang lebih jauh, hak-hak dalam upah bermakna bahwa janganlah mempekerjakan upah seseorang, jauh dibawah upah yang biasanya diberikan. Misalnya saja untuk seorang staf administrasi, yang upah perbulannya menurut pasaran adalah Rp 900.000,-.  Tetapi di perusahaan tertentu diberi upah Rp 500.000,-.  Hal ini berarti mengurangi hak-hak pekerja tersebut. Dengan kata lain, perusahaan tersebut telah memotong hak pegawai tersebut sebanyak Rp 400.000,- perbulan.  Jika ini dibiarkan terjadi, maka pengusaha sudah tidak berbuat layak bagi si pekerja tersebut.

Dari uraian Upah menurut Konsep Islam diatas, maka dapat digambarkan bagaimana konsep Upah dalam Islam seperti tertera dalam Gambar 2  Dapat dilihat bahwa Upah dalam konsep Syariah memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi dunia dan dimensi akherat.  Untuk menerapkan upah  dalam  dimensi  dunia,   maka  konsep moral merupakan  hal  yang  sangat  penting    agar pahala dapat diperoleh sebagai dimensi akherat dari upah tersebut.  Jika moral diabaikan, maka dimensi akherat tidak akan tercapai. Oleh karena itulah konsep moral diletakkan pada kotak paling luar, yang artinya, konsep moral diperlukan untuk menerapkan upah dimensi dunia agar upah dimensi akherat dapat tercapai.

Dimensi upah di dunia dicirikan oleh 2 hal, yaitu adil dan layak.  Adil bermakna bahwa upah yang diberikan harus jelas, transparan dan proporsional. Layak bermakna bahwa upah yang diberikan harus mencukupi kebutuhan pangan, sandang dan papan serta tidak jauh berada di bawah pasaran. Aturan manajemen upah ini perlu didudukkan pada posisinya, agar memudahkan bagi kaum muslimin atau pengusaha muslim dalam mengimplementasikan manajemen syariah dalam pengupahan karyawannya di perusahan.

Kesimpulan
Upah menurut Barat adalah Upah atau Gaji biasa, pokok atau minimum dan setiap emolumen tambahan yang dibayarkan langsung atau tidak langsung, apakah dalam bentuk uang tunai atau barang, oleh pengusaha kepada pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja.  Sedangkan Upah menurut Islam adalah imbalan yang diterima seseorang atas pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akherat (imbalan yang lebih baik).

Perbedaan pandangan terhadap Upah antara Barat dan Islam terletak dalam 2 hal : pertama,  Islam melihat Upah sangat besar kaitannya dengan konsep Moral, sementara Barat tidak.  Kedua, Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akherat yang disebut dengan Pahala, sementara Barat tidak.  Adapun persamaan kedua konsep Upah antara Barat dan Islam terletak pada prinsip keadilan (justice) dan prinsip kelayakan (kecukupan).
Rambu-rambu pengupahan dalam Islam ada 2 yakni adil dan layak.  Adil bermakna 2 hal ; (1) jelas dan transparan, (2) proporsional.  Sedangkan Layak bermakna 2 hal;(1), cukup pangan, sandang dan papan, (2), sesuai dengan pasaran.

Saran 
Berhubung penelitian ini tidak membahas teori-teori pengupahan yang selama ini dikenal, maka untuk penelitian lanjutan, perlu dilakukan penelitian tentang teori-teori itu apakah sudah sesuai dengan syariah atau belum.  Jika belum sesuai dengan syariah, maka perlu modifikasinya agar sesuai dengan syariah.

My Blog List